I Nyoman Yasa (70) seorang perajin bambu di kawasan Bangli, Bali yang memiliki keterbatasan fisik pada kaki dan tangannya. Sudah sejak muda Yasa menekuni pekerjaannya sebagai perajin bambu. Biasanya ia membuat sangkar ayam dari bambu menggunakan tangan cekatannya yang tak sempurna. Meskipun hidup dengan berbagai keterbatasan, ia tidak pernah menyerah dan terus berjuang dalam hidupnya.
Memasuki usia 70 tahun, tentu tubuh Yasa sudah tidak sekuat dulu. Dahulu saat tubuhnya masih bugar, Yasa bisa memotong dan menebang sendiri 10 batang bambu untuk dijadikan sangkar ayam. Saat ini ia hanya bisa mendapatkan setengahnya saja. Meski begitu, Yasa selalu bersyukur dengan apapun yang didapatkannya.
Foto:berbuatbaik
|
“Kalau dulu saya bisa nebang ini usia saya ngurangin, ngeburuhan nebang. (Kalau dulu sewaktu muda, saya bisa menebang bambu sendiri. Tapi karena usia, saya tidak bisa, jadi membayar orang untuk menebang)” ujar Yasa.
Pengerjaan kandang ayam membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Kurang lebih pembuatannya memakan waktu hingga 2 hari lamanya. Kandang buatan Yasa biasanya dibawa ke pengepul di pasar atau ada pula yang datang langsung ke rumahnya untuk memesan.
Dalam perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan, Yasa tidaklah sendiri. Ia tinggal bersama adiknya, Ketut Tapa, beserta keluarga besar adik bungsunya. Dari enam bersaudara, hanya Yasa sebagai anak ketiga dan Ketut anak keempat yang terlahir dengan keterbatasan fisik.
Foto:berbuatbaik
|
“Ada ibu saya belingan itu lika ibu saya cacat keluarnya gitu. (Waktu ibu saya hamil, ada persoalan, sehingga saat lahir saya tidak sempurna)” ungkap Yasa mengenai kondisi tubuhnya yang sudah terjadi sejak lahir.
Keterbatasan pengetahuan keluarga dan akses kesehatan pada masa itu, membuat keluarga kedua kakak beradik ini tak tahu kondisi apa yang terjadi saat dalam kandungan. Selama puluhan tahun hidup bersama, Yasa dan Ketut saling mendukung satu sama lain untuk tetap tegar dalam menjalani hidup.
Sebagai adik, Ketut Tapa juga tak mau berdiam diri. Ia menjadi seorang pembuat tangkih dan porosan. Dua benda tersebut sering digunakan oleh umat Hindu untuk beribadah setiap harinya, terlebih saat hari-hari besar. Tangkih dan porosan dibuat dari daun kelapa, khusus untuk porosan di dalamnya akan diisi dengan daun sirih.
Ketut biasanya mampu membuat satu karung penuh tangkih atau porosan dalam kurun waktu satu minggu pembuatan. Satu karung tangkih atau porosan dihargai sebesar Rp20.000. Jumlah tangkih dan porosan yang berhasil dibuat sangat bergantung pada kemampuan fisik dari Ketut, sebab kini kondisi fisiknya sudah tak prima dan kian menurun.
Foto:berbuatbaik
|
Meski terlahir dengan kondisi tubuh yang tak sempurna, keluarga serta masyarakat sekitar tidak pernah mengucilkan ataupun memandang sebelah mata Yasa dan Ketut. Mereka justru menjadi contoh teladan semangat hidup bagi banyak orang sekitarnya.
Kekurangan pada tubuh mereka bukan menjadi alasan untuk hanya berpangku tangan dan pasrah menghadapi cobaan. Yasa dan Ketut adalah pribadi yang mandiri meski terlahir dengan tubuh yang tidak sempurna. Kisah hidup mereka memberikan pelajaran penting bagi semua orang bahwa kebaikan bisa dimulai dengan rasa syukur kepada Tuhan serta menjalani hidup dengan segala pemberian-Nya dengan ikhlas dan lapang dada.
Sahabat Baik, mari kita bantu perjuangan hidup Yasa dan Ketut dengan berdonasi melalui berbuatbaik.id. Seluruh donasi yang diberikan 100% tersalurkan ke penerima manfaat dan mampu memberikan secercah harapan bagi kehidupan mereka.