Matahari mulai meninggi menandakan pagi hari telah tiba. Banyak orang telah memulai kegiatan mereka pada pagi hari itu, begitu juga dengan Abah Kunu. Dia harus bergegas ke kebun nira untuk mengganti wadah bambu bekas sadapan nira. Jika tak segera diambil, getah nira akan segera busuk dan tak dapat diolah.
Abah Kunu mengumpulkan getah nira untuk nantinya diolah menjadi gula aren. Ini merupakan pekerjaan berat yang tak seharusnya dilakukan oleh lansia berusia 71 tahun itu, karena Ia harus memanjat dan menyadap nira.
“Ini saya nyadap-nyadap bukan seneng tapi malesnya mah males ya, cuma karena kebutuhan gitu neng jadi dipajukan rieuh kata orang sunda”, ucap Abah Kunu.
Setelah selesai menyadap nira, getah nira yang sudah terkumpulkan kemudian diolah menjadi gula aren yang membutuhkan waktu hingga lebih dari dua jam untuk merebusnya. Hasil menyadap nira pun tidak banyak, hanya sekitar tiga bungkus gula aren yang dihasilkan dan setiap bungkusnya dijual seharga 20 ribu rupiah. Sungguh harga yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan proses pembuatannya yang memakan waktu seharian.
Hasil penjualan gula aren pun juga harus dibagi dua. Dikarenakan Abah Kunu menyadap nira di kebun orang. Maka dari itu keuntungan menjual gula aren harus dibagi dengan pemilik kebun tersebut.
Abah Kunu juga mengidap penyakit hernia. Ia melawan penyakitnya dan tetap menyadap nira semenjak 10 tahun lalu karena keharusan agar mendapatkan pemasukan setiap harinya.
“Udah tua, kemudian punya penyakit. Jadi istilahnya mencari kebutuhan itu melawan penyakit, melawan itu karena kebutuhan”, ujarnya.
Disaat Abah Kunu sudah tak sanggup untuk memanjat, Agus lah yang menggantikan Abah. Agus merupakan cucu dari Abah Kunu yang berusia 13 tahun dan telah putus sekolah sejak lima tahun yang lalu. Keputusan tersebut diambilnya karena merasa iba melihat kakeknya bekerja sendirian. Ia juga khawatir kakeknya terjatuh saat memanjat.
Abah Kunu tinggal bersama Agus dan istrinya, Mak Ukat di Kampung Sipapanting, Desa Mekarjaya, Kabupaten Tasikmalaya. Mereka tinggal di rumah yang sempit bahkan ketimbang disebut rumah, mereka tinggal di ruangan berukuran dua kali tiga meter yang hanya cukup untuk tidur saja.
Kedua orang tua Agus tinggal di Subang bersama dengan Kakak dan Adiknya. Namun Agus memilih untuk tinggal dengan Abah Kunu dan Emak Ukat yang telah merawatnya sejak Ia kecil. Selain membantu Abah Kunu menyadap nira, Agus juga sering mengumpulkan bambu muda dan pakis liar untuk dijual.
Melihat suaminya berjuang walaupun menahan sakit demi menghidupi keluarganya, tangis Mak Ukat tak kuasa tumpah.
“Ngasih nafkah ama mak neng susah neng, karena cari nafkah meskipun sakit. Mak kasihan sama abah”, ucapnya.
Dari pernikahannya, Mak dan Abah dikaruniai delapan anak. Namun anak keenamnya telah meninggal dua tahun lalu, sedangkan yang lainnya hidup merantau di luar kota. Mak dan Abah juga tidak mau merepotkan anak-anaknya karena mereka juga hidup serba kekurangan.
Abah Kunu dan Mak Ukat tentunya menanam asa agar kelak mempunyai harapan untuk hidup lebih baik. Tentu harapan ini akan semakin mudah dicapai jika kita bersama-sama memberikan kebaikan untuk Abah Kunu dan keluarganya. Cara sederhananya dengan memberikan Donasi melalui berbuatbaik.id.
Kabar baiknya, semua donasi yang diberikan seluruhnya akan sampai ke penerima 100% tanpa ada potongan. Kamu yang telah berdonasi akan mendapatkan notifikasi dari tim kami. Selain itu, bisa memantau informasi seputar kampanye sosial yang diikuti, berikut update terkininya.
Jika berminat lebih dalam berkontribusi di kampanye sosial, #sahabatbaik bisa mendaftar menjadi relawan. Kamu pun bisa mengikutsertakan komunitas dalam kampanye ini.
Yuk jadi #sahabatbaik dengan #berbuatbaik mulai hari ini, mulai sekarang!